MOJOK.CO – Saya tersesat di ISI Surakarta. Sebelumnya, saya tidak menyangka akan mengadu nasib di sini. Tapi, ini ketersesatan yang menyenangkan dan saya jatuh hati kepada Solo.
Sebagai warga Klaten al-munawaroh, saya mulai kasmaran dengan kota tetangga: Solo. Beberapa di antara yang mengesankan saya adalah di sana mudah sekali menyaksikan seni pertunjukkan.
Jika kamu pernah tinggal, menetap, atau singgah di Solo, kita mungkin punya pengalaman serupa. Kendatipun, pandangan saya jelas sangat subjektif. Tetapi haqul yaqin, pengamatan saya cukup empirik.
Jadi begini, belum lama ini saya “tersesat” di sebuah kampus yang dianggap sebagai kiblat seni pertunjukkan, setidaknya se-Solo-Jogja: ISI Surakarta. Kenapa tersesat? Saya bahkan tidak pernah terfikir akan mengadu nasib di kampus ini.
Tersesat di ISI Surakarta
Sebelumnya, saya bekerja sebagai seorang juru ketik untuk media alternatif keislaman: islami.co. Lebih dari setengah dekade saya berjibaku dengan literatur keagamaan, sosial, politik, budaya, dan tentu saja media.
Itulah kenapa saya melanjutkan pendidikan sarjana di bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir ke Kajian Budaya dan Media, UGM. Memang, agak cross major kalau melihat posisi saya di ISI Surakarta sekarang. Tapi setidaknya itu masih realistis karena sedegup dengan mata pencaharian saya sebagai tukang ketik.
Karena itu, saya merasa ada semacam gegar intelektual antara latar belakang keilmuan saya sebelumnya dengan pekerjaan saat ini sebagai tenaga pengajar di Prodi Teater, Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Surakarta.
Meski begitu, saya insyaAllah tidak menyesali ketersesatan itu. Saat ini saya bukan saja pasrah belaka terhadap matematika semesta yang jelas tidak saya kuasai rumusnya. Sejauh ini saya justru sangat menikmati dinamika performansi budaya kampus ISI Surakarta.
ISI Surakarta yang kalcer banget
Saban hari saya disuguhi berbagai macam pementasan di ISI Surakarta yang sangat kalcer. Mulai dari seni tari, karawitan, wayang, live gigs, dan tentu saja teater. Laksana tradisi takjilan di masjid-masjid ketika bulan Ramadan, itu semua bisa diakses oleh publik sejauh berangkat dengan niat belajar. Gratis.
Beberapa bahkan datang karena mau show off ke gebetan supaya terlihat muda-mudi masa kini pelestari tradisi. Laki, perempuan, wa akhwatuha boleh masuk semua asal masih ada tempat duduk. Jadi, nyaris bisa dipastikan ruang pertunjukkan di ISI Surakarta ini tidak bias gender secara kuantitas.
Jadi, bayangkan betapa kalcernya menghabiskan waktu luang di kabupaten yang bikin orang bingung membedakan mana Surakarta dan mana Kartasura. Juga, Sukoharjo. Orang lalu membuatnya jadi lebih sederhana: Solo.
Meski begitu, kesaksian saya ini baru berkutat di distrik Jebres, alias Solo bagian timur. Agak ke tengah, suasananya lebih meriah.
Jatuh hati kepada khazanah pertunjukkan di Solo
Dalam sebuah esai Sriwedari Ora Sare, jurnalis senior Bre Redana pernah menulis bahwa dinamika politik Kasunanan dan Mangkunegaran justru membuat Solo jadi lebih entertain dengan dua situs kebudayaan adiluhung Jawa: Sriwedari dan Balekambang. Juga, Tirtonadi. Oiya, ada tiga berarti, walaupun sebetulnya masih terbentang beberapa lainnya.
Senada, di sebuah esai, kolumnis mbak Neli Triana juga pernah membagi pengalamannya sewaktu melawat Solo.
Secara khusus dia mensinyalir betapa susahnya untuk tidak jatuh hati terhadap khazanah pertunjukkan yang terhampar di sepanjang Jl. Gatot Subroto (Gatsu), Solo. Dari yang free hingga bernilai ekonomi. Mulai adiluhung, pop-kalcer, hingga skena. Semua itu menawarkan pengalaman estetis bagi wisatawan yang menziarahi Gatsu, utamanya di malam Minggu.
Saya sendiri dua pekan terakhir nyaris kenyang dengan pertunjukkan teman-teman mahasiswa ISI Surakarta. Kebetulan bulan-bulan ini adalah masa UAS.
Dan, jangan keliru. UAS-nya anak ISI Surakarta bukan UAS lazimnya kampus lainnya. Melainkan UAS yang dalam diktatnya Pak Butet Kartaredjasa disebut sebagai UASuog.
Lha gimana, ketika umumnya mahasiswa mengerjakan paper di bawah tekanan rezim footnote dan/atau gaya sitasi APA atau MLA untuk memenuhi kewajiban ujian akhir semester, seniman-seniman pelajar ISI Surakarta justru berperaga layaknya EO profesional merangkap artisnya.
Posisi seni dalam pendidikan tinggi
Saya yang habitus pendidikannya adalah studi teologi dan kajian media menjadi saksi bagaimana narasi tubuh, bunyi, dan visual dipertaruhkan dalam satu malam pementasan. Saya beri sedikit ilustrasi bagaimana saya menghabiskan rutinitas harian di kampus satu ISI Surakarta di masa UAS.
Pagi hari saya sarapan presensi. Siangnya ishoma dengan cita rasa seni instalasi dan tari.
Sore, menyimak mahasiswa karawitan main gamelan. Petang, menuju gelanggang warga (etno) musik melakukan sound check sebelum nge-gigs. Malamnya, melahap pertunjukan teater. Terkadang, juga pedalangan di ISI Surakarta.
Demikian kiranya puja-puji berdasar pengalaman saya di ISI Surakarta. Sekarang saatnya mendaras itu semua dengan kacamata agak kritis.
Jangan-jangan, keberlimpahan panggung pertunjukan di Solo justru membuat kita abai terhadap problem mendasar. Misal, bagaimana seni diposisikan dalam sistem pendidikan tinggi kita?
Seni pertunjukan, dalam berbagai skalanya, sudah tentu sangat memukau. Tapi bagaimana dengan nasib dan kesejahteraan para pelaku dan kelas pekerjanya?
Sejauh mana kampus ISI Surakarta, misalnya, memfasilitasi keberlanjutan seniman-pelajar setelah lulus? Adakah jaminan bahwa idealisme seni yang mereka rayakan di pentas akademik tidak remuk redam oleh logika industri budaya atau media yang lebih mengabdi pada viralitas daripada kualitas?
Di sisi lain, Solo sendiri memang kota budaya. Saya mengimani betul hal ini. Tapi pertanyaan krusialnya: budaya untuk siapa? Untuk seniman? Wisatawan? Elite? Atau untuk warga sipil biasa yang kadang hanya jadi penonton pasif dari wacana “pelestarian tradisi” yang dikurasi dari atas?
Dah, hop. Saya pertegas bahwa pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk mengusik suasana kebatinan atau kesyahduan Kota Surakarta, apalagi ISI Surakarta.
ISI Surakarta dan kekuatan bayang-bayang
Laksana sebuah pementasan, panggung hiburan tak hanya butuh sorotan lampu. Untuk menciptakan efek visual dan naratif yang kuat, kadang juga perlu bayangan. Karena dari sanalah kita bisa melakukan permenungan mendalam.
Dalam serial Game of Thrones, seorang loyalis kraton bernama Lord Varys pernah bilang:
“Power resides where man believe it resides. It’s a trick, a shadow on the wall. And, a very small man can cast a very large shadow.”
Sedemikian krusialnya bayangan di atas panggung kehidupan yang kadang kidding ini, hingga pertunjukkan wayang kulit sangat mengandalkan bayang-bayang. Bayangan mampu menciptakan suasana magis ketika sang dalang mewartakan kisah-kisah epik lewat selembar tokoh wayang yang dimainkan di belakang kelir.
Lepas dari segala ketersesatan yang saya alami di dalamnya, di titik ini saya cukup percaya kampus seperti ISI Surakarta dan berbagai kampus seni lainnya akan memungkinkan hadirnya ruang diskursif paling lentur untuk mentafakuri bayang-bayang (relasi) kekuasaan di balik industri kreatif seni pertunjukan. Semoga.
Penulis: Anwar Kurniawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Titik di UNS Solo, ISI, dan Sekitarnya yang Perlu Dihindari karena Bikin Muntab dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.