Layar gawai tak pernah mati. Guliran jari pun tak ada henti. Bagi sebagian orang, TikTok adalah hiburan. Tapi bagi sebagian yang lain, ia adalah cara tercepat untuk mengalami pembusukan otak. Istilah kekiniannya: brain rot.
Istilah ini mungkin terdengar seram. Dan, memang, dampaknya seseram itu. Ia terasa nyata pada konsentrasi dan kualitas hidup seseorang.
Ketika otak meredup akibat konten digital
Dalam beberapa waktu terakhir, istilah “brain rot” merajalela di jagat maya, khususnya di platform seperti TikTok. Istilah populer ini secara informal menggambarkan penurunan fungsi kognitif dan mental yang dirasakan seseorang akibat konsumsi konten digital yang berlebihan.
Gejala yang sering dikaitkan meliputi rentang perhatian yang memendek, kesulitan berpikir kritis, serta ketergantungan pada stimulasi digital yang instan.
Meskipun bukan diagnosis medis formal, brain rot telah menjadi topik diskusi serius di kalangan akademisi. Fenomena dan dampaknya diakui relevansinya dalam konteks kesehatan digital dan perkembangan otak oleh berbagai perguruan tinggi, termasuk Harvard University.
Brain rot, atau dalam bahasa Indonesia kerap disebut “busak” (busuk otak), adalah cara populer untuk mengartikulasikan kekhawatiran mendalam tentang bagaimana kebiasaan digital modern memengaruhi kemampuan manusia untuk berpikir, fokus, dan berinteraksi dengan dunia nyata.
Urgensi fenomena ini semakin terasa mengingat dominasi TikTok di Indonesia. Menurut laporan We Are Social dan Meltwater (2024), Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan jumlah pengguna TikTok terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 113 juta orang. Mereka menghabiskan rata-rata 2 jam 37 menit di TikTok setiap hari.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan waktu berharga yang diinvestasikan pada “guliran tak berujung”, yang berpotensi memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan mental dan kognitif.
“Gara-gara TikTok, baca buku 15 menit saja tidak kuat”
Sejak pandemi melanda, Rika (23), mahasiswi tingkat akhir di sebuah PTS Jogja, mengakui hidupnya nyaris tak lepas dari TikTok.
“Dulu, aku bisa baca buku dan novel tebal sampai berjam-jam. Kudu kelar. Nulis tugas panjang juga lancar. Sekarang? Lima belas menit saja rasanya sudah mau meledak,” keluhnya, Senin (1/7/2025)
Rika bercerita, kebiasaan scrolling TikTok awalnya hanya untuk mengisi waktu luang. Tapi kini, konten TikTok malah menguasai sebagian besar harinya.
Di platform tersebut, ia tak cuma menonton video-video lucu. Tetapi juga untuk mencari informasi teraktual. Bahkan untuk istilah sederhana yang ingin diketahui, Rika memilih browsing di TikTok alih-alih Google.
“Otakku sulit fokus. Aku jadi mudah lupa juga. Tapi yang paling lucu sih, aku jadi sering ngomong pakai bahasa meme atau sound TikTok.”
“Nonton film aja nggak bisa fokus”
Pengalaman serupa dirasakan oleh Dani (26), seorang admin media sosial sebuah coffe shop di Jogja. Tuntutan untuk selalu mengikuti tren di TikTok, bikin Dani merasa otaknya terprogram untuk berpikir cepat tapi dangkal.
“Aku harus terus-menerus mencari ide konten viral, yang biasanya memang absurd dan lucu-lucuan. Awalnya seru, tapi lama-lama aku merasa daya analisaku tumpul,” ujarnya, Senin (1/7/2025).
Ia mencontohkan, ketika harus membaca brief pekerjaan yang detail, Dani merasa sangat kesulitan. Rasanya, kata dia, semua tulisan itu jadi kabur. Cuma bisa menangkap poin-poin singkat.
“Bahkan, untuk nonton film saja, kalau durasinya lebih dari satu jam, aku pasti sudah pindah-pindah aplikasi atau main TikTok lagi. Nggak bisa fokus,” paparnya.
Brain rot: otak membusuk, IPK kecil?
Apa yang dialami Rika dan Dani bukan kasus tunggal. Survei Katadata Insight Center (2022) menunjukkan bahwa 68,5 persen responden remaja dan dewasa muda (13-25 tahun) di Indonesia, merasa lebih mudah terdistraksi karena notifikasi dari gawai dan media sosial.
Sebanyak 54,1 persen juga melaporkan penurunan kemampuan konsentrasi setelah sering menggunakan media sosial. Data ini mengindikasikan bahwa gejala yang dikaitkan dengan brain rot telah meluas di kalangan pengguna digital Indonesia.
Tak sampai di situ. Dampak ini bahkan merambah ke ranah pendidikan dan produktivitas. Sebuah studi dalam Journal of Applied Developmental Psychology (2022) menemukan, mahasiswa yang terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial cenderung memiliki nilai IPK yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena penurunan konsentrasi saat belajar dan manajemen waktu yang buruk.
Bahkan, studi kasus pada pekerja remote menunjukkan bahwa distraksi digital dapat mengurangi produktivitas hingga 40 persen. Penyebabnya? Karena waktu mereka terbuang: beralih fokus ke media sosial, dan kembali ke pekerjaan.
TikTok dan otak jagung
Fenomena yang dialami Rika dan Dani berakar pada cara kerja otak dalam merespons stimulasi. Sejumlah pakar dan riset ilmiah telah menyoroti secara serius dampak konsumsi konten digital yang berlebihan, khususnya format pendek—seperti TikTok—pada fungsi otak manusia.
Dengan demikian, secara ilmiah, brain rot dapat dijelaskan sebagai penurunan fungsi kognitif akibat overstimulasi digital.
Penjelasannya begini: video pendek TikTok dirancang untuk memberikan “kejutan” dopamin (hormon kesenangan) yang instan dan berulang. Setiap kali manusia melihat video yang menarik, otak mengeluarkan dopamin, menciptakan perasaan puas yang singkat.
Ini adalah siklus yang sangat cepat. Jika satu video tidak memicu dopamin, orang bisa langsung scroll ke video berikutnya, sambil berharap mendapatkan konten bagus di slide berikutnya.
Walhasil, otak pun terbiasa dengan dosis dopamin tinggi dan instan ini, lalu menuntut stimulasi serupa. Reporter The Kookmin Review, Baek Jong-Eun, dalam tulisannya berjudul “Dopamine Addiction: Watching Short-Form Creates Popcorn Brain” menyebut fenomena ini sebagai “popcorn brain” atau otak jagung.
Gara-gara TikTok, fokus kita cuma mentok 47 detik
Format video pendek di TikTok, secara signifikan, juga memendekkan rentang perhatian (attention span) manusia. Video berdurasi rata-rata 15-60 detik memaksa otak untuk selalu beralih fokus dengan sangat cepat. Proses task-switching yang masif ini, meskipun terasa pasif, sebenarnya sangat membebani korteks prefrontal (bagian otak yang bertanggung jawab untuk fungsi eksekutif seperti fokus, pengambilan keputusan, dan perencanaan).
Penelitian dari International Journal of Indian Psychology (2025) menunjukkan bahwa paparan konstan pada konten yang berubah cepat ini secara signifikan mengurangi kemampuan kontrol atensi. Akibatnya, otak menjadi overload dan mengalami kelelahan mental, membuat sulit untuk terlibat dalam tugas yang membutuhkan konsentrasi berkelanjutan.
Selain itu, TikTok cenderung mendorong pola pikir yang cepat dan otomatis. Kontennya dirancang untuk memicu reaksi emosional instan daripada pemikiran mendalam.
Studi jurnal Cyberpsychology (2024) berjudul “Swiping More, Thinking Less: Using TikTok Hinders Analytic Thinking” menunjukkan bahwa proses menggeser video itu sendiri, terlepas dari isinya, secara negatif memengaruhi kecenderungan pengguna untuk berpikir secara analitis. Durasi singkat video juga melatih otak untuk menerima informasi secara dangkal dan kurang kritis, tanpa memberikan ruang untuk refleksi atau integrasi informasi, yang penting untuk pembentukan pemahaman yang solid.
Hasilnya? Manusia cuma bisa fokus menonton konten video selama 47 detik. Ini menjelaskan mengapa Dani mengaku tak bisa fokus menonton film.
Brain rot bisa bikin depresi
Rika dan Dani boleh saja bilang kalau dampak TikTok baru “sebatas” mudah hilang fokus. Namun, perlu diingat, bahwa ia bisa lebih buruk lagi. Sejumlah studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang intens memiliki korelasi kuat dengan masalah kesehatan mental.
Laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) pada 2023 lalu mengungkapkan bahwa remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial memiliki risiko dua kali lipat mengalami gejala kecemasan dan depresi.
Meskipun data ini dari AS, tren serupa juga menjadi perhatian di Indonesia. Riset dari Asosiasi Psikolog Amerika (APA) juga menyimpulkan adanya hubungan antara penggunaan media sosial yang tinggi dengan rasa kesepian dan isolasi sosial—yang ironisnya terjadi di platform yang seharusnya menghubungkan orang.
Jurnal lain, seperti Journal of Strategic Research (2025) berjudul “The Problem of the Century: Brain Rot” menyebutkan bahwa penggunaan media sosial berlebihan dapat memicu kecemasan, depresi, dan kesepian akibat perbandingan sosial dan kompetisi popularitas, yang secara tidak langsung berkontribusi pada “kerusakan” kognitif.
Kemalasan atau memang merusak otak manusia?
Uniknya, istilah brain rot sendiri sempat memicu perdebatan di media sosial. Apakah ia hanya sekadar label untuk “kemalasan”, atau benar-benar fenomena yang merusak otak manusia.
Namun, perdebatan itu akhirnya “selesai” gara-gara muncul fenomena “amnesia digital” gara-gara video TikTok. Pendeknya begini: otak manusia di-setting untuk memilah memori mana yang mau diingat dan dilupakan. Sementara konten video TikTok, “terdesain untuk dilupakan”. Beda ketika kita membaca buku.
Alhasil, banyak orang mengaku sulit mengingat informasi yang baru saja mereka tonton di media sosial, karena otak terlalu sibuk menyerap data baru ketimbang memprosesnya menjadi memori jangka panjang. Amnesia digital ini lah yang diakui Rika dan Dani, beberapa kali mereka alami.
Kadang, mereka lupa video apa yang ditonton barusan.
Kini, brain rot bukan sekadar lelucon internet. Melainkan sebuah sinyal bahaya yang perlu diwaspadai di tengah banjir informasi digital saat ini, ada pembusukan otak yang bisa menimpa siapa saja.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Belajar Bahasa Inggris Adalah Tahap Awal untuk Memanusiakan Diri bagi Atlet Brain Rot seperti Saya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.