Usia Candi Borobudur sudah sangat tua. Sementara, masih ada saja pengunjung yang iseng meninggalkan permen karet atau mencorat-coret batuan candi, hingga mencukil batu reliefnya. Oleh karena itu, para arkeolog berupaya keras menjaga kelestarian candi yang berlokasi di Magelang itu. Dengan pemeliharaan serta berbagai upaya konservasi candi, arkeolog berharap umur Candi Borobudur dapat bertahan hingga 1000 sampai 2000 tahun lagi.
Mereka yang setiap hari bertugas merawat Candi Borobudur
Arkeolog, Hari Setyawan, memang bukan orang pertama yang melakukan pemugaran skala besar pada tahun 1907. Usianya saja masih 9 tahun saat pemerintah tengah mencari ratusan pekerja untuk memugar Candi Borobudur kedua kalinya di tahun 1973.
Hari (43) baru masuk Balai Konservasi Borobudur pada tahun 2010, tapi permasalahan yang ia jumpai tetap sama sejak dibukanya kunjungan umum ke Candi Borobudur. Permasalahan itu seperti perilaku pengunjung yang membuang permen karet sembarangan di batu candi hingga mencungkil relief.
“Pemugaran yang kami lakukan itu secara undang-undang adalah pengembalian kondisi fisik. Secara dasar institusional ada di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” ucap Hari saat ditemui di sekitar Candi Borobudur, Magelang pada Minggu (11/5/2025).

Hari menjelaskan pemugaran adalah pengembalian kondisi fisik, bangunan, struktur, bentuk, tata letak, dan teknik pengerjaan yang kini dilakukan secara modern. Setidaknya, ada sekitar 60 pegawai yang melakukan pemugaran candi, termasuk peneliti, teknisi, sampai surveyor.
“Setiap hari kami melakukan perawatan karena konservasi ini nggak bisa ditinggal satu hari, dua hari, atau dua bulan sekali. Itu nggak bisa. Konservasi sifatnya preventif dan kuratif,” kata laki-laki asal Semarang tersebut.
Hari menjelaskan tindakan preventif diperlukan untuk menanggulangi hal-hal yang dapat mempercepat kerusakan pada permukaan batu candi. Salah satunya dengan pembersihan mekanik baik secara kering dan basah.
Faktor yang membuat fisik candi hancur
Selain aksi vandalisme, perubahan iklim di Candi Borobudur, Magelang juga memengaruhi kondisi batuan candi. Terutama batu andesit yang merupakan material utama candi dan sudah ada sekitar 8 abad masehi. Jadi, ketika suhu udara naik, serta kelembapan udara kering, maka kerusakan hingga pelapukan batu akan semakin cepat.
“Saya sering dengar orang-orang bilang, alah Mas, watu yo jarke wae kan saiki yo jek utuh (alah mas, batu saja nggak usah dirawat kan sekarang ya masih utuh), tapi itu kan dulu. Masyarakat masih sering pakai sepeda. Nah, kalau sekarang?,” resah Hari.
“Fluktuasi suhu dan kelembapan udara sekarang ini kan drastis ya. Kalau orang luar negeri bilangnya the hot is not common alias panasnya nggak umum,” kata lulusan S3 Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Seiring perkembangan zaman, masalah iklim juga beragam misalnya peristiwa hujan asam yang dapat merusak batuan candi. Lalu, kondisi jalan di sekitar area candi yang semakin besar, jumlah kendaraan yang semakin banyak, hotel atau resto yang tidak sesuai standar bangunan di sekitar cagar budaya.
Oleh karena itu, sebagai langkah preventif, timnya rutin melakukan monitoring terkait stabilitas struktur candi sebanyak empat kali dalam setahun. Mereka juga memantau geohidrologi untuk mengetahui kondisi air dalam bukit candi, serta memantau klimatologi guna mengetahui iklim mikro di lingkungan Candi Borobudur, Magelang.
Selain itu, timnya juga melakukan perekatan, injeksi retakan, serta memilih bahan kimia yang aman bagi batu sebagai langkah kuratif. Melalui upaya pemugaran tersebut, Hari berujar kondisi Candi Borobudur saat ini jauh lebih baik ketimbang dulu.
Terlebih, keberadaan candi yang merupakan warisan budaya dunia dari UNESCO sejak 1991 tersebut, berada di lingkungan terbuka. Apabila pemugaran berhenti, bangunan fisik candi seperti dinding dan lantai terancam kolaps. Tak pelak, keberadaan candi pun bisa diambang kehancuran.
Candi Borobudur dapat bertahan ribuan tahun lagi
Hari sendiri, sejak kecil bukan orang yang tertarik dengan candi tapi ia peduli terhadap eksistensi bangunan cagar budaya di Indonesia. Secara filosofis, Candi Borobudur menjadi salah satu tempat pemujaan Buddha.
“Bangunan ini merepresentasikan makrokosmos atau alam semesta. Tempat bersemayamnya Dewa atau Tuhan,” kata dia.

Selain itu, terdapat lebih dari 2.600 relief dan sekitar 504 arca Buddha di Candi Borobudur yang melukiskan lintasan peradaban manusia menuju kebijaksanaan tertinggi. Relief-relief itu bercerita soal tataran hidup manusia yang masih dikuasai nafsu serta kenikmatan dunia.
Di tataran kedua, relief menunjukan kehidupan ideal yang seharusnya dilakukan oleh individu untuk melepaskan diri dari segala kesengsaraan. Selanjutnya, tataran tertinggi bercerita soal kehidupan manusia yang sudah lepas dari segala kesengsaraan.
“Sebenarnya candi ini mempunyai nilai-nilai (ajaran) yang universal. Tidak khusus. Memang tadinya untuk umat Buddha, tapi di sana juga terdapat nilai seperti budi pekerti yang mengakar dalam tradisi orang Jawa,” ujar Hari.
“Walaupun pusatnya (ibadah biksu) di India, tapi tidak ada pahatan reliefnya yang mirip seperti di Borobudur. Hanya ada di sini,” lanjutnya.
Maka tak heran, Candi Borobudur yang terletak di Magelang itu menjadi pusat pembelajaran biksu untuk mempelajari ajaran Buddha secara mendalam. Oleh karena itu, praktik konservasi, kata Hari, menjadi upaya bersama. Bukan hanya dari pemerintah, peneliti, pemelihara, tapi juga kesadaran dari masyarakat sekitar.
“Kalau zona penyangganya dijaga, Anda tidak berbuat vandalisme, serta emisi gas dikurangi, bisa diperkirakan kondisi candi yang baik masih bisa tahan sekitar 1000 sampai 2000 tahun ke depan,” ujar Hari.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mereka yang Mendapat Berkah dari Produksi Upanat, Sandal Khusus untuk Naik ke Candi Borobudur atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.