Usai anak menjalani tahun demi tahun sebagai mahasiswa di salah satu kampus di Bandung, Jawa Barat, berujung penyesalan bagi seorang bapak. Bukan karena kampusnya. Bukan karena akhirnya susah cari kerja. Tapi pada “keliaran” kota tersebut yang merusak segalanya.
***
Peringatan: Tulisan ini mengandung beberapa bagian yang bisa mengganggu kenyamanan pembaca hingga memicu trauma. Disarankan tidak melanjutkan membaca jika tidak dalam kondisi rentan.
Meisa (30), panggil saja demikian (karena meminta disamarkan), masih harus menjalani pemeriksaan rutin karena HIV/AIDS yang bersarang dalam tubuhnya.
Sebagaimana dikethaui, HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan secara total. Terapi harus dilakukan seumur hidup untuk mengontrol virus dan memperlambat perkembangannya.
Meisa sebenarnya mengaku sudah tidak tahan. Dia ingin menyudahi saja terapi itu agar lekas meninggal. Hidup lamapun baginya sudah tidak ada gunanya. Hanya memperpanjang penderitaan dan terus menambah luka orangtua sekaligus menjadi aib bagi mereka.
“Tapi orangtua yang menghendaki agar aku terapi,” tutur Meisa sendu saat terhubung dengan reporter Mojok, Jumat (16/5/2025) pagi WIB.
Meyakinkan orangtua kuliah di kampus Bandung
Pada 2015, Meisa meninggalkan Padang, Sumatera Barat, untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Pada awalnya orangtua Meisa tidak setuju. Bandung terlampau jauh. Selain itu, orangtua Meisa khawatir putrinya itu akan terjerumus dalam pergaulan bebas.
“Bagaimanapun, bagi beberapa anak muda sini (Padang), Jawa adalah pusat kampus-kampus top. Termasuk Bandung. Aku mengincar sebuah kampus di sana,” katanya.
“Aku yakinkan saja, di Bandung banyak juga mahasiswa dari Padang. Jadi aku bisa jaga pergaulan,” sambungnya.
Setelah diskusi alot, akhirnya orangtua Meisa mengizinkan putrinya tersebut merantau ke Kota Kembang. Menjadi mahasiswa di sebuah kampus Bandung yang dia incar.
Bebas dari norma sosial dan agama
Tidak ada masalah berarti ketika awal menginjakkan kaki di Bandung. Sebagaimana umumnya mahasiswa baru, hidup Meisa awalnya masih berjalan normal.
Namun, seiring waktu, lingkar pergaulan Meisa makin luas. Dia aktif dalam beberapa organisasi dan komunitas.
“Aku merasa menemukan kebebasan di sini. Di rumah, aku terikat dengan rangkaian norma sosial dan agama. Tapi di sini, itu semua nggak berlaku,” ujar Meisa.
“Aku mulai kenal pacaran. Maksudnya pacaran yang bukan seperti anak SMA: punya status, lalu malu-malu. Tapi pacaran yang memang bisa bersentuhan fisik,” lanjutnya.
Itu semua mulai Meisa kenal ketika memasuki semester 3. Bahkan, di semester 3 itu pula dia mengaku mulai menanggalkan hijab dan pakaian tertutupnya.
Dia juga mulai mengenal rokok dan minuman keras. Karena banyak dari teman komunitasnya yang mengonsumsi tersebut. Bahkan yang mengonsumsi obat terlarang pun ada. Meisa pun semakin akrab dengan dunia malam Kota Kembang.
“Kalau obat-obatan aku nggak pakai. Btw, beberapa anak Padang yang kukenal juga begitu. Mereka merasa lebih bebas. Tapi masih banyak juga yang agamis betul,” terang Meisa.
Seiring itu, Meisa mulai jarang pulang ke Padang. Sepanjang delapan semester, hanya dua kali dia pulang ke Padang. Yakni ketika libur panjang semester 1 dan libur panjang semester 2.
Setelah lepas hijab, Meisa mulai jarang pulang. Meisa pun mengaku sering tidak mengangkat video call orangtuanya. Takut diceramahi kalau tahu dia sudah lepas hijab. Dia hanya menerima panggilan biasa.
Sesuatu yang aneh terjadi
Cerita Meisa selama kuliah di sebuah kampus di Bandung terdengar kompleks. Ada banyak bagian sensitif yang saat reporter Mojok tanyakan ulang, Meisa memutuskan untuk tidak ditulis secara detail.
Tapi ringkasnya, di semester 6, Meisa pernah mengalami demam hebat. Awalnya dia mengira demam biasa. Tapi tubuhnya mulai gemetar ketika merasakan “sesuatu yang aneh” tengah terjadi padanya.
“Buang air kecil terasa nyeri, ada bintik-bintik juga di area vital, dan sederet tanda-tanda aneh.”
Meisa tak berani bercerita pada siapapun soal kondisinya. Bahkan termasuk kepada pacarnya (yang kesekian) sendiri. Tapi dia sudah mulai menduga, salah satu penyakit mengerikan sedang mengancam.
“Aku mulai dari baca-baca di internet. Gejalanya sama persis. Kuberanikan diri buat periksa, hasilnya HIV/AIDS,” beber Mesia. Dunia seperti runtuh. Pada momen itu, bayangan orangtua di rumah langsung berkelebat.
Orangtua terpukul hebat
Sang pacar adalah orang pertama yang Meisa kabari perihal hasil periksa itu. Tentu saja syok berat. Awalnya, pacar Meisa menjanjikan akan menemaniya sampai kapanpun. Tapi beberapa minggu setelahnya, pacar Meisa meminta putus.
Karena tinggal beberapa semester lagi, Meisa memutuskan untuk struggle di Bandung tanpa bantuan orangtua. Melanjutkan kuliah sambil melakukan kontrol kesehatan rutin.
Setelah lulus, bersama orangtuanya yang saat itu ke Bandung menghadiri wisuda, Meisa lalu ikut boyongan ke Padang.
“Jelas terpukul. Terutama bapak. Saat kuberitahu yang kualami, ibu nangis. Bapak tercenung, lalu keluar rumah,” katanya.
Tapi setelahnya, seperti yang disinggung Meisa di pembuka tulisan ini, orangtuanya memutuskan mengajak Meisa berdamai. Terus berikhtiar melalui terapi.
Sementara dari sisi spiritual, orangtua Meisa mengajak Meisa untuk kembali mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Jangan menjauhi-Nya lagi.
Ratusan mahasiswa terjangkit HIV/AIDS
Pada 2022, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung merilis data, sebanyak 5.843 orang di Bandung terjangkit HIV AIDS dalam rentang 1991-2021.
Ratusan di antaranya adalah mahasiswa. Disebutkan, ada 400-an mahasiswa yang dinyatakan positif HIV/AIDS. Angka itu setara dengan 6,97% dari total kasus.
Pada Oktober 2023, Sistem Informasi HIV AISD (SIHA) merilis data, bahwa Bandung menjadi penyumbang kasus HIV/AIDS terbesar di Jawa Barat.
Menurut data SIHA, dalam rentang Januari-September 2023, Kota Bandung menyumbang angka 190 kasus AIDS. Disusul Kota Bogor dengan 139 kasus dan Kabupaten Indramayu dengan 135 kasus.
Laporan BBC Indonesia membeberkan, budaya friend with benefit (FWB) yang menjalar di kalangan anak-anak muda terutama semasa pandemi menjadi salah satu faktor pemicu penjangkitan HIV/AIDS di kalangan mahasiswa Bandung, karena memungkinkan terjadinya hubungan seksual berisiko.
Selain itu, HIV/AIDS juga disinyalir menular melalui penggunaan jarum suntik (dalam konteks penggunaan obat-obatan terlarang).
Anak meninggal karena narkoba di Bandung
Beberapa hari sebelumnya, seorang kawan yang baru saja pulang dari ekspedisi membagikan cerita dari seorang petani di Boyolali, Jawa Tengah, yang dia temui. Bapak-bapak berusia 50-an itu menyesali kepergian anaknya untuk bekerja di Bandung.
Mulanya, sang anak kuliah di Jogja. Setelah lulus, pada 2018 sang anak merantau ke Bandung untuk bekerja.
Tapi kemudian sang anak pulang tinggal nama. Hasil otopsi menyebut bahwa sang anak meninggal karena konsumsi narkoba.
Hingga 2024, angka penyalahgunaan narkoba di Kota Bandung memang masih tergolong tinggi. Untuk itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung bersama Badan Narkotika Nasional (BNN) meresmikan penggunaan gedung rehabilitasi untuk mengatasi narkoba di Kota Bandung, Senin, (14/4/2025).
Gedung tersebut terletak di Jalan Ciungwanara Lebak Siliwangi, Kota Bandung.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyebut kehadiran fasilitas ini sebagai langkah awal yang positif dalam upaya serius untuk mengatasi permasalahan narkotika di wilayah Kota Bandung.
“Peresmian ini bukan sekedar simbolis, namun menandai dimulainya sebuah komitmen kolaboratif untuk menangani masalah narkoba dari hulu ke hilir,” ujarnya sebagaimana mengutip laman resmi Pemprov Jabar.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Keluh Kesah Pekerja di Bandung Punya Bos Banyak Drama, Dipecat H-2 Gajian Gara-gara Abaikan WA Bos yang Tak Masuk Akal atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan