Keluarga pemulung tunatetra di Kudus tak pernah membayangkan mendapatkan tempat tinggal yang nyaman. Rumah mereka cuma berukuran 3×3 meter. Di ruangan sempit ini, semua aktivitas termasuk tidur, memasak, makan, bahkan menerima tamu dilakukan. Berkat bantuan Rumah Sederhana Layak Huni (RSLH), impian yang nyaris mustahil itu bisa terwujud.
***
Kondisi rumah Rofiah (45) amat memprihatinkan. Lantainya masih beralas tanah. Dindingnya pun nyaris ambruk. Sementara atapnya tersusun dari bambu lapuk dengan genteng tanah yang sudah bolong sana-sini.
Warga Dusun Ngetuk, Desa Ngembalrejo, Kecamatan Bae, Kudus ini bahkan pernah mengalami kejadian lucu sekaligus tragis terkait kondisi rumahnya. Ceritanya, pada suatu tengah malam sang anak semata wayang, Iqbal Maulana (12), membangunkannya dari tidur.
“Bu, Bu, TV keluar asap,” kata Rofiah, menceritakan kata-kata yang diucapkan putranya itu, Rabu (23/4/2025).
“Kok bisa?,” tanyanya dengan heran kepada sang anak. Lantas, dengan masih setengah sadar tapi diliputi rasa penasaran, ia pun bergegas melihat TV-nya.
Malam itu, Iqbal awalnya sedang menyaksikan pertandingan bola kesukaannya. Kondisinya hujan lebat. Karena atap rumah mereka bocor sana-sini, air hujan pun jatuh ke atas TV. Alhasil, TV bekas yang mereka beli setahun lalu itu basah.
“Airnya masuk ke mesin-mesin TV. Keluar asap, Mas, hampir mbleduk (meledak) dan akhirnya mati total,” ujarnya yang diikuti tawa. Sejak kejadian itu, Iqbal pun harus numpang ke rumah tetangga kalau ingin menonton sepak bola.

Satu ruangan untuk tidur, makan, memasak, dan menerima tamu
Kondisi rumah Rofiah memang sangat memprihatinkan. Sehingga, dirinya dianggap layak didaftarkan sebagai penerima manfaat bantuan Rumah Sederhana Layak Huni (RSLH).
Tak cuma atap bocor sana-sini dan terkesan kumuh, rumah yang ia tinggali bersama sang suami, Purwanto (45), dan anak semata wayangnya, juga cuma punya satu ruangan. Di ruangan berukuran 3×3 meter tersebut, Rofiah sekeluarga tidur, makan, memasak, hingga menerima tamu.
Kepala Dusun Ngetuk, Novia Rosalina (29), menyebut bahwa keluarga Rofiah memang layak mendapatkan program bedah rumah. Dari sekian banyak rumah calon penerima manfaat yang disurvei, bagi Novia, rumah Rofiah memang kondisinya paling memprihatinkan.
“Kadang juga kalau saya lagi keliling lingkungan sini suka sedih, di antara yang lain rumahnya paling memprihatinkan,” ujar Novia saat Mojok temui, Rabu (24/4/2025).
“Selain itu ‘kan secara profil, Bapak Purwanto juga berkebutuhan khusus. Beliau kehilangan penglihatan, dan sehari-hari hanya memulung bersama istrinya,” sambung dia.
Pemulung di Kudus yang sudah mulai mengais rezeki setelah Salat Subuh
Seperti diungkapkan Kadus Ngetuk Novia, suami Rofiah, yakni Purwanto, memang memiliki keterbatasan dalam penglihatannya. Dulu, saat masih sehat, Purwanto menjadi tulang punggung keluarga. Sayangnya, beberapa tahun terakhir penyakit glaukoma merenggut penglihatannya.
Kini, Rofiah gantian mengambil alih tugas Purwanto. Sehari-hari ia bekerja sebagai buruh borongan di sebuah pabrik swasta. Namun, karena merasa masih memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga, Purwanto tak mau diam saja di rumah.
“Saya ini cuma mata yang nggak bisa melihat. Tapi selama tenaga masih bugar, kaki masih bisa berjalan, saya tetap mau kerja, Mas,” ucap Purwanto.
Setiap harinya, setelah melaksanakan Salat Subuh, Purwanto tetap memulung sampah menemani istrinya. Biasanya, sang istri berjalan di depan sambil mendorong sepeda berisi sampah hasil memulung. Sementara Purwanto berjalan di belakangnya sambil memegang bahu sang istri untuk memandunya berjalan.
Mereka memulung dari pukul 4.30 hingga pukul 6.00 pagi. Setelahnya, sang istri akan menyiapkan sarapan sang anak dan kemudian berangkat kerja ke pabrik. Sorenya, Purwanto dan istri kembali memulung sampai waktu Maghrib.
“Malahan kalau saya nggak ngapa-ngapain itu capek. Kalau mulung ‘kan sama saja saya jalan-jalan, Mas. Bikin badan bugar,” ungkapnya.
Pernah keseleo sampai cedera seminggu, tapi masih nekad memulung
Meskipun sudah didampingi sang istri saat memulung, keterbatasan penglihatan kerap bikin Purwanto celaka. Suatu kali, karena sama-sama teledor, kakinya terperosok ke dalam lubang yang cukup dalam. Kalau Rofiah tak salah ingat, lokasinya dekat IAIN Kudus.
Alhasil, Purwanto pun keseleo. Nyaris seminggu ia tak beranjak dari tempat tidurnya. Jangankan jalan-jalan memulung, buat berdiri saja susah. Namun, karena kasihan sang istri memulung sendirian, Purwanto nekad. Dalam keadaan kaki yang masih ngilu, ia ngotot mau menemani sang istri.
Kejadian itu kerap disaksikan oleh tetangga. Salah satunya Komedi (56) yang tinggal tepat berada di depan rumah Rofiah dan Purwanto. Ia berkali-kali mengingatkan Purwanto untuk tidak memulung dulu. Namun, nasihatnya cuma “diiyakan saja”; besok paginya Purwanto tetap berangkat memulung.
“Terkadang saya suka kesal, karena dia (Purwanto) itu ngeyel, Mas. Tidak bisa dibilangin, suruh istirahat saja nggak mau,” ujarnya, Rabu (24/5/2025).
“Tapi saya juga salut. Beliau ini penuh keterbatasan, tapi nggak mau menyerah sama nasib,” imbuhnya.
Bersyukur mendapatkan bantuan rumah layak huni
Dengan semua keterbatasan yang mereka alami, baik Purwanto maupun Rofiah sebenarnya punya harapan kecil. Mereka ingin punya tempat tinggal yang layak. Tak perlu bagus. Kalau kata Rofiah, “yang penting nyaman buat salat, anak tidur, sama nggak bocor lagi.”
Sayangnya, bagi Rofiah, itu harapan yang nyaris mustahil. Pasalnya, penghasilannya kerja borongan di pabrik hanya cukup ia gunakan untuk kebutuhan makan dan menyekolahkan anak. Sementara hasil memulung tak bisa diharapkan; paling banter dapat Rp300 ribu sebulan.
“Makanya, Mas. Ketika rumah kami dipilih buat dapat bantuan bedah rumah, saya sangat bersyukur. Soalnya kalau nggak dibantu, saya nggak bakal bisa renovasi,” jelasnya.
Kini, Rofiah sekeluarga pun bisa tidur nyenyak. Rumah reyotnya dulu telah disulap menjadi RSLH berukuran 5×5 dengan lima ruangan. Antara lain satu ruang tamu, dua kamar tidur, sebuah kamar mandi, serta dapur.
Di bagian belakang rumah masih ada lahan yang ia gunakan untuk meletakan botol-botol plastik hasil memulung.
“Sebelum diperbaiki, depan rumah isinya ya barang hasil mulung. Saya memang minta, tempat untuk menampung hasil memulung di bagian belakang rumah, biar tampak rapi,” katanya tertawa.
Program RSLH untuk pengentasan kemiskinan ekstrem di Kudus
Rofiah sendiri merupakan salah satu penerima manfaat program Rumah Sederhana Layak Huni (RSLH). Program kolaborasi antara PT Djarum, Polytron, dan Pemkab Kudus ini diklaim sebagai upaya Pengentasan Kemiskinan Ekstrem (PKE) di Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Kudus.
Ia menjadi satu dari 92 penerima manfaat bantuan RSLH tahap I. PT Djarum sendiri menargetkan bantuan 300 RSLH sepanjang 2025 dengan anggaran Rp55 juta untuk tiap unit rumah.
Pada Kamis (24/4/2025), PT Djarum menggelar acara seremoni penyerahan bantuan RSLH yang dihadiri 92 penerima manfaat dari empat kecamatan. Selain Rofiah, acara yang berlangsung di Pendopo Kabupaten Kudus ini juga dihadiri Joko Riyanto (55), penerima manfaat lain asal Desa Sidorekso, Kecamatan Kaliwungu.
Pria yang bekerja sebagai tukang angkut sampah ini bahkan hampir tak bisa menahan air mata bahagianya. Bagaimana tidak, Joko mengaku sudah pasrah dengan kondisi rumahnya yang nyaris ambruk.
Bertahun-tahun ia berusaha membangun hunian yang layak buat anak dan istrinya, tapi selalu gagal. Penghasilannya dari angkut sampah cuma Rp1 juta sebulan. Jangankan buat renovasi rumah, untuk makan saja kadang masih susah.
“Saya nggak minta macam-macam. Cuma minta agar di masa tua saya, paling tidak kami sekeluarga bisa tidur dan salat dengan nyaman, Mas,” ungkapnya, Kamis (24/4/2025).
Akhirnya, dalam acara tersebut, Joko bersama penerima manfaat lainnya secara simbolik menerima bantuan RSLH. Ia mengucapkan banyak terima kasih karena mimpinya yang hampir mustahil digapai, kini diwujudkan oleh PT Djarum.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Menjadi Pesepak Bola Putri di Kudus di Tengah Tabu dan Larangan Ibu, dari Bocah Desa Biasa Kini Bersiap Main di Singapura atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.