Kalau kamu tinggal di Ampelgading, Kabupaten Malang, dan kamu belum pernah naik atau minimal lihat Daihatsu Gran Max Pickup, bisa jadi kamu pendatang yang masih tanya warung kopi bukanya jam berapa.
Di daerah yang jauhnya sekitar 70 kilometer dari Kota Malang, dan jalanannya kadang lebih cocok buat uji nyali daripada uji emisi, Gran Max bukan sekadar mobil. Dia simbol. Dia solusi. Dia cinta pertama warga desa, terutama ibu-ibu pengajian yang sudah akrab betul dengan jok bak belakangnya yang empuk karena ditutupi tikar.
Saya sendiri sudah lima tahun pakai Gran Max, dan selama itu pula mobil ini nggak pernah rewel. Nggak pernah ngambek pas diajak kerja, nggak pernah ngeluh pas disuruh naik tanjakan bawa muatan, dan yang paling penting: nggak pernah bikin malu pas parkir di depan masjid.
Bahkan ibu-ibu sampai kasih julukan sayang ke mobil ini: Pajero – Panas Njobo, adem nJero. Terjemahannya? Luar panas, dalam adem. Simpel. Elegan. Ndeso tapi berkelas.
Daftar Isi
Ampelgading ke Sumbermanjing? Santuy. Tanjakan Lebakharjo? Tinggal ngopi.
Gran Max ini bukan mobil gaya. Tapi coba suruh dia naik ke Sumbermanjing, turun ke Pujiharjo, terus dilanjut nanjak tajam ke Lebakharjo. Dia nggak akan banyak tanya. Gas terus. Mesin 1.5L DOHC VVT-i dengan torsi 134 Nm itu bukan cuma angka di brosur. Di tangan Gran Max, angka itu berubah jadi tenaga pengangkut dunia akhirat.
Kalau kamu biasa nyetir mobil yang manja yang dikit-dikit sensor error, dikit-dikit minta bensin Pertamax Turbo, kamu mungkin bakal minder pas naik Gran Max. Soalnya, mobil ini irit banget, bisa 12–14 km/liter. Bahkan kadang lebih irit dari motor tetanggamu yang tiap bulan masih nunggak cicilan.
Mobil bak, rasa angkot majelis fatayat
Ini fakta lapangan: di Ampelgading Malang, mobil Gran Max bukan cuma buat angkut batako dan pasir, tapi juga buat jemput ibu-ibu pengajian. Biasanya bak belakang dikasih terpal, tikar, dan kadang kursi plastik. Ibu-ibu duduk selonjoran, ada yang sambil dzikir, ada yang sambil ngupas salak, ada juga yang sambil nyebutin siapa aja yang belum bayar arisan.
Di situ, mobil ini berubah dari kendaraan logistik jadi ruang sosial keliling. Kadang lebih hangat dari ruang tamu sendiri. Bahkan ada yang bilang, “Kalau bukan Gran Max, saya malas ikut pengajian. Soalnya mobil lain terlalu mewah, nggak bisa buat selonjor.”
Gran Max bukan mobil mewah, tapi mobil berkah
Jangan harap kamu bisa pamer Gran Max di parkiran mall biar dilirik satpam. Nggak bisa. Yang bisa kamu pamerin adalah betapa mobil ini bisa bertahan dalam segala cuaca dan kondisi, dari hujan deras di lereng bukit sampai panas menyengat di jalanan proyek. Dan yang lebih keren: bengkel rumahan pun bisa benerin. Spare part-nya murah, dan kalau perlu, kamu bisa cari bekasnya di pasar loak, pasti ada.
Mobil ini nggak punya fitur kamera 360 derajat. Tapi dia punya fitur tak tertulis: ketangguhan kelas rakyat. Kalau Gran Max ini manusia, dia pasti tipe pekerja kasar yang sabar, kuat, dan nggak pernah telat setor hasil panen ke bos-nya.
Gran Max: dari Ampelgading, untuk semua orang yang tahu arti perjuangan
Gran Max bukan kendaraan biasa. Di Ampelgading Malang, dia jadi saksi hidup banyak cerita: dari mulai dagang sayur keliling, antar jemput anak sekolah, sampai kisah cinta ibu-ibu yang diam-diam saling kode di atas bak terbuka. Mobil ini tidak hanya mengangkut barang, tapi juga mengangkut harapan dan keberanian hidup.
Jadi, kalau kamu lihat Gran Max lewat di jalan kampung, jangan remehkan bentuknya yang kotak. Siapa tahu, itu mobil yang udah bantu satu keluarga bertahan selama pandemi, atau kendaraan yang udah lima tahun dipakai antar ibu-ibu pengajian tanpa mogok sekali pun.
Karena di sini, besti, fungsi lebih penting daripada gengsi. Dan Gran Max? Dia paham banget soal itu.
Penulis: Vranola Ekanis Putri
Editor: Rizky Prasetya