Secara administratif, Jatiwaringin punya batas yang jelas kalau ditarik dari arah Mall Pondok Gede, maka hanya sampai Jalan Binalontar. Lewat dari sana kita sudah masuk ke wilayah Jati Cempaka. Tapi kenyataannya, warga Jati Cempaka pun sering kali lebih nyaman menyebut rumahnya berada di Jatiwaringin Bekasi.
Mungkin karena nama jalannya tetap Jalan Raya Jatiwaringin atau bisa jadi karena kedekatan historis, karena Jati Cempaka memang dulunya merupakan pemekaran dari Jatiwaringin. Dua wilayah ini seperti saudara kandung yang tak pernah benar-benar berpisah.
Daftar Isi
Antara Bekasi dan Jakarta, letak Jatiwaringin membingungkan
Jatiwaringin secara geografis adalah wilayah unik yang lebih dekat ke Jakarta daripada ke pusat Kota Bekasi. Jika ingin menuju Jakarta, akses paling efisien adalah melalui daerah Pangkalan Jati. Namun jika ingin ke Bekasi Selatan atau pusat kotanya, jaraknya justru lebih jauh. Ya mungkin ini wajah khas daerah perbatasan yang kadang lebih dekat dengan tetangga kota dibanding induknya sendiri.
Warga Jatiwaringin paham betul bagaimana identitas geografis ini kadang membingungkan. Satu sisi Bekasi, sisi lain Jakarta. Maka tak heran jika banyak aktivitas dan kebutuhan masyarakatnya justru bergantung pada fasilitas yang ada di perbatasan, seperti kawasan perempatan Mall Pondok Gede yang menjadi simpul kegiatan harian: mulai dari pusat perbelanjaan, pasar, rumah sakit, sekolah, hingga lapangan olahraga.
Akan tetapi di titik vital seperti perempatan Pondok Gede inilah, sering terjadi kemacetan yang tidak main-main. Salah satu penyebab utamanya adalah galian jalan yang seperti tak pernah benar-benar selesai.
Galian jalan yang tak pernah tamat di Jatiwaringin Bekasi
Satu hal yang nyaris menjadi ciri khas Jalan Raya Jatiwaringin setidaknya dalam satu tahun terakhir adalah keberadaan galian yang seolah bergantian muncul dari waktu ke waktu. Tidak hanya satu titik, tapi bisa muncul di beberapa lokasi sekaligus. Kadang baru ditutup, tidak lama dibuka kembali. Lalu ditutup lagi, lalu dibuka lagi.
Tidak pernah ada keterangan pasti dari mana proyek itu berasal. Apakah untuk pipa air bersih? Kabel optik? Atau proyek instansi berbeda yang kebetulan saling bersilangan? Yang jelas, pengguna jalan hanya tahu satu hal: macetnya luar biasa.
Saat cuaca panas, debu dari galian itu bisa sangat mengganggu. Masker dan kacamata jadi perlengkapan yang rasanya wajib. Tapi saat hujan turun, kondisi berubah: tanah basah menjadi licin dan berisiko. Warga Jatiwaringin Bekasi serta para pengendara yang melintasinya tiap hari layak disebut sebagai barisan orang paling sabar.
Nama jalan yang puitis, kuliner yang ramai, dan transportasi publik yang ramah
Ada satu aspek menarik dari Jatiwaringin Bekasi yang kerap luput dari perhatian yaitu nama-nama jalannya. Mulai dari Jalan Bahagia, Jalan Damai, Jalan Setia, hingga Jalan Sejahtera, semuanya seolah membawa pesan positif dan harapan baik. Sayangnya, kondisi fisik jalan yang masih sering rusak atau terganggu galian, tak selalu sejalan dengan makna namanya. Seolah memberi sindiran lembut: harapan belum tentu sama dengan kenyataan.
Meski begitu, geliat ekonomi dan kuliner di Jatiwaringin tidak bisa diabaikan. Kini di sepanjang Jalan Raya Jatiwaringin, berbagai tempat makan dan resto kekinian tumbuh subur. Mulai dari makanan rumahan hingga kuliner modern, semuanya tersedia.
Soal transportasi publik, Jatiwaringin sebenarnya cukup ramah. Ada Transjakarta, angkot K22A, K22, hingga M18 yang siap mengantarkan warga ke berbagai arah. Namun karena volume kendaraan dan kondisi jalan yang tak selalu ideal apalagi dengan adanya galian-galian ini, perjalanan bisa terasa panjang bahkan untuk jarak yang tak seberapa.
Ketabahan di tengah galian
Harapan saya untuk Jatiwaringin Bekasi tentu sederhana, semoga ada koordinasi yang lebih baik soal infrastruktur dan proyek-proyek yang berlangsung bisa benar-benar selesai dengan rapi.
Semoga warga Jatiwaringin, beserta para pengendara yang setiap hari melewati jalan ini, senantiasa diberi kesabaran yang cukup atau kalau bisa, lebih. Karena terkadang, sabar satu level saja belum tentu cukup menghadapi galian yang datang silih berganti tanpa aba-aba. Dan sebisa mungkin tetap ingat jalur alternatif, kalau-kalau galian tambah banyak minggu depan.
Penulis: Mega Mulianisa
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.