Hasil SNBT sudah diumumkan beberapa waktu lalu. Ribuan calon mahasiswa baru (maba) mengincar Jogja sebagai salah satu daerah untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Maklum saja, di daerah ini terdapat banyak universitas negeri dan swasta berkualitas. Terlebih, ada Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu universitas negeri terbaik di indonesia yang peminatnya mencapai puluhan ribu camaba tiap tahun. Bahkan, di SNBT ini saja, ada sekitar 80.000 peserta SNBT yang mendaftar ke UGM.
Angka puluhan ribu itu baru catatan satu universitas. Padahal, perguruan tinggi populer di Yogyakarta ada banyak. Artinya, jumlah orang-orang yang berminat lanjut studi di Jogja nggak main-main.
Ribuan mahasiswa yang datang untuk menuntut ilmu itu berasal dari berbagai daerah dan beragam latar belakang. Itu mengapa hidup sebagai perantauan baru di Kota Pelajar bisa agak menantang. Bukan sekadar menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru, bahasa, hingga makanan yang punya cita rasa manis. Bersosialisasi dengan teman-teman kampus, teman kos, maupun tetangga sekitar tempat tinggal bisa jadi proses penyesuaian yang tidak mudah.
Nyantri sambil kuliah bisa jadi pilihan tepat
Di proses penyesuaian ini kalau tidak hati-hati mahasiswa yang baru merantau bisa terseret arus yang kurang baik. Bukannya menakut-nakuti, tapi itu benar bisa terjadi apalagi kalau perantau tidak memiliki pertahanan diri yang kuat. Itu mengapa, saya menyarankan teman-teman mahasiswa memilih lingkungan yang familiar atau dikenal terlebih dahulu sebagai awalan merantau. Tinggal di pondok atau mondok (nyantri) bagi calon maba Muslim bisa jadi pilihan,
Mengapa begitu? Hampir lima tahun saya menjalani hidup sebagai mahasiswa sekaligus santri. Meski saya tak punya latar belakang mondok sebelumnya, tetapi saya mampu bertahan. Bukan sebab saya tangguh. Namun, iklim Jogja hari ini rasa-rasanya akan lebih aman bila aktivitas akademik bersanding dengan kegiatan religius.
Baca halaman selanjutnya: Jogja yang …