Saya adalah lulusan jurusan perkebunan. Kayak orang pada umumnya, saya sering ngobrol dengan sejawat yang ada hubungannya dengan jurusan saya kuliah. Nah, berawal dari obrolan ngalor-ngidul dengan seorang kolega yang sempat bekerja di kelapa sawit, muncullah pertanyaan, “Kenapa nggak bekerja di kelapa sawit? Gajinya tinggi lho”.
Kelapa sawit, yang dianggap sebagai raja komoditi pertanian Indonesia ini memang menjadi fokus utama pemerintah untuk mengejar swasembada energi, melalui produksi minyak kelapa sawit yang digenjot habis-habisan.
Meski menghadapi trade war dan ancaman-ancaman intimidatif terkait isu deforestasi untuk produk kelapa sawit dan turunannya oleh Uni Eropa, nyatanya geliat bisnis perkebunan sawit di Indonesia tetap tidak ada matinya dan makin menggairahkan.
Nggak heran jika bekerja di perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu cita-cita wajib bagi para lulusan jurusan perkebunan. Iming-iming gaji tinggi, bonus tahunan yang berkali-kali lipat, dan kesejahteraan yang diperhitungkan, menjadi framing bahwa bekerja di perkebunan kelapa sawit merupakan pekerjaan dambaan.
Namun nggak semua lulusan mahasiswa jurusan perkebunan yang tertarik bekerja di kelapa sawit meski iming-iming gaji tinggi. Salah satunya saya sendiri.
Daftar Isi
Kuliah Jurusan Perkebunan nggak melulu belajar kelapa sawit
Pertama yang harus diketahui, kuliah jurusan perkebunan nggak melulu belajar tentang kelapa sawit saja. Baik dari teknis budidaya, panen, pasca panen, hingga agribisnisnya. Melainkan juga belajar komoditi lainnya.
Berbeda dengan jurusan pertanian pada umumnya seperti agronomi atau agroteknologi, kuliah jurusan perkebunan lebih spesifik belajar tentang tanaman perkebunan. Atau istilah lainnya tanaman tahunan, seperti kopi, kakao, teh, tembakau, karet, vanili, dan tanaman serat.
Komoditi-komoditi tanaman perkebunan tersebut dipelajari lengkap sama halnya mata kuliah tanaman kelapa sawit. Jadi peluang lulusan berkarier mahasiswa jurusan perkebunan nggak hanya sebatas di perkebunan kelapa sawit.
Buktinya banyak juga yang bekerja sebagai sinder atau manajer kebun di perkebunan kopi, kakao, atau tembakau milik perusahaan negara. Meski nggak sedikit juga yang menyebrang ke komoditi tanaman pertanian lainnya. Seperti jagung, padi atau bahkan kentang dan hidupnya jauh lebih mentereng dibanding yang bekerja di tengah hutan, eh, kebun sawit.
Selama lulusan mahasiswa jurusan perkebunan nggak kerja di bank, itu bukan suatu aib, catat itu ya!
Hidup di tengah hutan, rica-rica ular menjadi santapan
Seperti cerita rakyat yang dituturkan turun temurun, di tengah ingar bingar framing glamor yang dipertontonkan mereka yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, terdapat segelintir kengerian yang sedikit dibincangkan.
Rozi (28) bukan nama asli, saat kuliah dulu semangatnya menggebu-nggebu untuk meniti karier di perkebunan sawit. Sehingga dia mempersiapkan semuanya dengan baik nggak hanya otak yang diisi melainkan otot juga dilatih.
Kondisi berbalik ketika dia sudah merasakan magang di salah satu perkebunan kelapa sawit besar di Kalimantan Timur selama tiga bulan. Iming-iming gaji tinggi, nggak ada apa-apanya dibanding kehidupan Jawa yang penuh dengan kemudahan.
“Bayangin saja, tiap sore menjelang maghrib, kita harus naik bukit buat nyari signal. Gaji tinggi tapi di sini apa-apa harga tinggi, mending di Jawa sajalah”, cerita dia sepulang program magang yang tiap tahun dilaksanakan rutin oleh program studi.
Masih menurut ceritanya, rica-rica ular piton sudah menjadi santapan spesial di kehidupan perkebunan kelapa sawit. Bukan soal mahalnya harga-harga makanan, melainkan di tengah hutan yang tersedia hanya ular piton, babi hutan, kalau mujur ya dapat sejenis rusa. Daging ayam dan kambing sangat langka dijumpai di sana.
Atas dasar pengalaman Rozi inilah, 8 kawan saya yang saat itu mengikuti program magang, enggan kembali ke perkebunan kelapa sawit tersebut. Meski mereka nggak perlu repot-repot mengikuti tahapan rekrutmen lagi, tetap mereka nggak kembali. Soal gaji tinggal tutup mata, sudah pasti menggiurkan, katanya sih. Tapi ya, nggak worth it buat mereka.
Realistis saja, nggak perlu idealis harus kerja di kelapa sawit
Lulusan mahasiswa jurusan perkebunan nggak perlu minder atau resah harus meniti karier di komoditi apa. Selama kopi-kopi masih dijajakan di kafe-kafe, maka di situlah lulusan perkebunan masih bisa cari makan.
Saya jadi teringat ucapan salah satu dosen saya kala itu merespons ditolaknya tawaran kerja kembali di perkebunan kelapa sawit oleh 8 teman saya yang mengikuti program magang.
“Angkatan kalian angkatan memble, nggak ada yang berani ke sawit!”, ujar beliau dengan nada tinggi.
Kerja di perkebunan kelapa sawit bukanlah arena untuk adu siapa yang keren atau siapa yang berani. Semua orang berhak memilih jalan hidupnya masing-masing, termasuk soal pekerjaan.
Nggak semua yang terlihat memesona dari bekerja di kelapa sawit itu berakhir bahagia. Banyak juga yang berakhir duka seperti penahanan ijazah oleh perusahaan, terlibat intrik konflik dengan penduduk lokal, atau gaji yang nggak sesuai kesepakatan. Itu semua nggak mungkin diceritakan dengan dalih untuk melatih mental.
Jadi untuk adik-adik jangan terlena ya dengan kata-kata promosi yang dbalut ucapan manis nan indah di balik iming-iming gaji tinggi kerja di perkebunan sawit. Lulusan jurusan perkebunan masih punya banyak peluang untuk meniti karier, nggak usah berpikir sempit.
Penulis: Dodik Suprayogi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Seberapa Baik Sesungguhnya #SawitBaik Itu?