Beberapa hari yang lalu saya hampir mati saat mengendarai motor kesayangan, Honda Beat karbu warna putih keluaran 2011. Malam itu kondisinya memang gelap. Tak ada lampu jalan. Tak ada juga mobil yang melintas di sepanjang ruas jalan Tlogowaru yang menjadi penghubung Kota Malang dan Kabupaten Malang.
Tiba-tiba Brak! Ban saya kejeglong ke lubang dengan kedalaman kira-kira sekepalan tangan. Seketika motor oleng. Saya terlempar dari jok motor. Motor saya jatuh ke kanan, saya jatuh ke kiri. Saya sempat bengong. Terdiam beberapa detik. Menatap langit malam yang gelap tanpa lampu jalan.
Nyaris mati di jalan, tapi malah dapat pencerahan
Akhirnya saya memutuskan duduk diam sebentar di pinggir jalan, mengatur nafas yang ngos-ngosan. Saya mencoba memaknai hidup yang nyaris berakhir karena jalan berlubang di Malang.
Saya langsung mengingat-ingat, kira-kira dosa apa saja yang saya lakukan hari itu. Mungkin karena siang harinya saya sengaja skip kuliah dengan alasan sakit. Padahal kenyataannya saya sehat wal afiat, cuma males ngadepin dosen killer yang kelakuannya mirip tokoh antagonis sinetron Indosiar. Mungkin juga karena tadi pagi saya nyelak antrian demi gorengan yang tinggal satu.
Akan tetapi, kemudian saya berpikir ulang. Jangan-jangan ini isyarat bahwa lubang-lubang di jalan adalah ujian hidup, bentuk kasih sayang Tuhan yang paling dekat dengan umatnya. Bahwa derita itu mendewasakan dan aspal bolong adalah madrasah kehidupan yang mengajarkan kita untuk waspada, sabar, dan merendah. Kalau jalanan mulus, kita jadi ngebut, lupa diri, tak pernah merenung. Tapi dengan lubang-lubang itu, pengalaman berkendara bisa jadi ajang muhasabah diri (seperti saya yang langsung ingat mati dan merenungi dosa-dosa saya).
Character building berbasis jalan berlubang Malang
Dongkol? Pasti. Marah? Iya. Tapi, setelah batin saya menemukan hikmah, akhirnya saya sadar kalau saya sepatutnya harus berdamai. Memangnya apa lagi yang bisa kita lakukan kalau bukan berdamai? Mau mengeluh ke siapa? Ke pemerintah? Lha wong sudah dari kecil kita dicekoki doktrin bahwa mengeluh itu tidak sopan, tidak produktif, tidak membawa solusi.
Di titik ini, saya mulai curiga, barangkali memang lubang-lubang di jalan itu sengaja tidak ditambal, sebagai bentuk pembelajaran karakter bagi rakyat. Character building, gitu istilah kerennya. Supaya kita tahu apa itu waspada, apa itu nelongso.
Malam itu akhirnya saya sadar, lubang di jalan adalah bentuk bernegara paling jujur. Ia tidak diskriminatif. Mau pengangguran atau pejabat, kalau salah belok ya ambyar juga. Ia melatih kesadaran spiritual. Di atas motor kita belajar banyak hal, dari tawakal hingga tritunggal rem-tangan-doa. Sungguh, ini sistem pendidikan karakter paling efektif setelah PPKn dan kepramukaan.
Malang ini kota edukasi. Jalan rusak pun bisa jadi media pembelajaran. Ia mengajari kita teknik kewaspadaan tingkat dewa dan teknik zig-zag seperti Valentino Rossi. Bahkan, kita diajari kesabaran level wali. Bagaimana tidak? Tiga minggu jalan rusak, minggu keempat “diperbaiki”. Eh minggu kelima hujan. Minggu keenam rusak lagi. Ulang dari awal.
Dan ya, memang begitulah hidup di Malang hari ini: kita jatuh di jalan yang sama, mengeluh dengan gaya yang sama, tapi besoknya tetap lewat situ juga. Pada akhirnya, meromantisasi jalan berlubang lengkap dengan pengalaman buruknya hanyalah satu-satunya cara tetap waras hidup di Malang. Sebab, harapan akan jalan yang mulus adalah utopia walau sebenarnya itu hak warga.
Penulis: Muhammad Haidar Sabid A
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.