Saya lahir dan besar di Purwokerto. Menghabiskan sebagian besar hidup Ibu Kota Kabupaten Banyumas membuat saya tahu betul seluk beluk kota ini. Termasuk perubahannya dari masa ke masa. Satu hal yang saya cermati, Purwokerto sekarang beda sekali dengan versi saya kecil. Saya melihat sendiri bagaimana kota ini bertransformasi.
Purwokerto yang macet mungkin hanya sebatas bahan guyonan bertahun-tahun lalu, sebab kami tahu betul bagaimana kondisi Kota Satria ini. Apabila boleh meringkasnya dalam beberapa kata, Purwokerto di zaman dulu itu sepi, aman, murah, dan ngapak. Itu mengapa “Purwokerto Macet” bak materi dua kata lucu para stand up comedian pada saat itu karena sangat jauh dari realitas yang dihadapi sehari-hari.
Akan tetapi, Purwokerto macet tidak lagi jadi dua kata lucu saat ini. Itulah sambatan warga sehari-hari. Kata banyak orang, Purwokerto itu Jogja versi mini. Satu sisi saya senang karena kota kecil ini kian diakui dan dikenal banyak orang. Di sisi lain agak waswas karena banyak ketidaknyamanan mengintai. Salah satunya yang paling kentara adalah kemacetan.
Daerah magis yang sedikit demi terkikis
Bagi saya, dahulu, Purwokerto itu daerah yang magis saking nyamannya. Bayangkan saja, di satu tempat kalian bisa menikmati udara segar, alam yang asri, kuliner lezat, hunian terjangkau, hingga berbagai kebutuhan yang ramah di kantong. Sayangnya, kenyamanan itu sedikit demi sedikit terkikis. Salah satu yang jadi tolok ukur adalah kemacetan yang mulai terjadi di beberapa titik.
Baca halaman selanjutnya: Saya masih …