Meski saat ini situasi sudah sedikit melandai, konfrontasi militer antara Iran dan Israel yang didukung oleh Amerika Serikat beberapa waktu belakangan ini sempat memicu ketegangan global. Bahkan berpotensi memasuki eskalasi konflik militer karena cakupannya lebih luas, yaitu perang dunia ketiga. Hal itu menjadi wajar. Sebab, Iran sebagai pihak yang dicolek lebih dulu oleh Israel langsung melakukan komunikasi intens dengan Rusia yang jadi sekutunya.
Nggak berhenti di situ, China dan Korea Utara pun juga kabarnya siap membantu dalam hal logistik militer kepada Iran jika diperlukan.
Tentu saja, pergerakan beberapa negara yang merespons konflik Iran dan Israel menyebabkan efek kejut di seluruh sektor, terutama yang berhubungan dengan ekonomi global. Salah satu yang langsung disorot adalah pergerakan harga minyak dunia apabila perang dunia ketiga benar-benar terjadi.
Pasalnya Amerika sendiri yang ikut andil membuat suasana jadi keruh, malah jadi pihak yang khawatir soal harga minyak ketika Iran memblokade beberapa jalur strategis. Nggak hanya Trump, Menteri kesayangan kita semua, Bahlil Lahadalia pun meminta kita banyak-banyak berdoa agar minyak mentah dunia benar-benar tidak naik.
Tapi terlepas dari itu, sebenarnya ada sektor industri lain yang nggak kalah penting bisa kena dampak yang sama parahnya dengan minyak mentah ketika perang dunia ketiga benar-benar terjadi, yaitu industri logistik dan keuangan. Yah saya bisa bilang, kedua sektor industri ini saling berkaitan. Satu ambruk, maka yang satunya juga akan ikutan ambruk.
Daftar Isi
Kenapa logistik adalah yang pertama terdampak perang dunia ketiga?
Pertama kita lihat sisi kausalitas (sebab-akibat) antara terjadinya perang dunia dengan dampak buruknya terhadap sektor logistik. Saat perang meletus, apalagi melibat negara seperti Iran, maka selat-selat atau jalur perdagangan strategis semacam Selat Hormuz (Iran), Laut Hitam, atau jalur Pasifik sudah pasti akan sangat terganggu. Ada semacam skema blokade dari negara seperti Rusia, Iran, atau China yang akan memutus rantai pasok global.
Jadi mudahnya, pengantaran berbagai komoditas penting ke seluruh penjuru dunia akan jadi terhambat. Jalur strategis yang awalnya dipilih karena dapat memangkas jarak, jadi hilang sehingga para kargo logistik harus mencari alternatif jalur lain yang lebih jauh.
Akibatnya tentu berefek pada biaya yang membengkak, mulai dari bahan bakar, premi asuransi, biaya keamanan, dan rerouting pengiriman. Implikasi selanjutnya akan mengakibatkan proses distribusi terhadap pangan, bahan baku, dan barang industri jadi terhambat sehingga memicu kelangkaan dan inflasi.
Industri logistik kalau mengalami kendala, apalagi sampai terjadi kerugian, maka seluruh bahan baku, tidak hanya minyak, tapi bahan lainnya akan menukik tajam. Contoh seperti gandum yang jadi bahan dasar mie. Komoditas ini kan masih import. Kamu yang doyan makan mie ayam bisa jadi harus dibikin kaget karena harganya bisa makin mahal.
Atau, yang doyan makan sari roti isi coklat harga 6 ribuan harus hanya bayar jadi 10 ribuan. Lah gimana, gadungmnya aja mahal karena biaya logistiknya naik?
Contoh lain efek perang dunia ketiga
Ambil contoh saat beberapa waktu lalu terjadi perang antara Rusia dengan Ukraina. Saat itu menurut laporan UN Trade and Development (UNCTAD), konflik kedua negara tersebut telah menaikkan biaya logistik dan asuransi kapal hingga 400%, dengan ratusan ribu kontainer tertahan, dan jalur ekspor gandum/energi lumpuh. Dilansir dari statistia.com, nilai pasar logistic global itu mencapai 9,6 triliun dolar per tahun.
Kalau kita hitung kerugiannya mengacu pada contoh konflik Rusia Ukraina yang diasumsikan terjadi kerugian mencapai 60-80 persen, maka sederhananya bisa dihitung seperti ini, kerugian = USD 9,6 triliun× 70% (nilai tengah kerugian) = USD 6,72 triliun/tahun. Jadi nilai kerugiannya mencapai USD 6,72 triliun atau sekitar Rp108 ribu triliun.
Lalu bagaimana efek dominonya bagi sektor keuangan? Jadi dalam mekanisme perdagangan global, ada yang namanya sistem SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication). Sistem ini tuh semacam jaringan penghubung untuk seluruh transaksi keuangan dunia seperti mengirim dan menerima instruksi pembayaran. SWIFT ini menjadi tumpuan setidaknya bagi lebih dari 11.000 ribu lembaga keuangan yang tersebar di sekitar 200 negara. Jadi kalau terjadi perang, SWIFT ini juga akan mengalami gangguan.
Di sisi lain, bank tidak bisa melakukan transaksi secara normal, transaksi para investor dari berbagai negara, baik perkara pembayaran utang atau pembelian komoditas jadi sulit dan bahkan tidak mungkin, dan yang paling penting, karena industri logistic yang terhambat mengakibatkan banyak perusahaan menghadapi risiko gagal bayar karena kesulitan memenuhi kewajiban keuangan antar lintas negara.
Lihat saja pada tahun 2022 saat bank-bank di Rusia dikeluarkan dari SWIFT akibat invasi negara tersebut ke Ukraina. Setelahnya sektor keuangan mengalami kepanikan, sehingga mata uangnya jatuh dan banyak transaksi ekspor dan impornya mengalami gagal proses.
Kerusakan sistemik
Dalam kondisi seperti itu, perusahaan logistik, manufaktur, dan perdagangan pasti akan terdampak dan mengakibatkan mereka menghadapi hambatan berupa mandeknya arus barang yang jadi sumber pendapatan mereka. Ketika itu terjadi, mereka akan gagal memenuhi kontrak dan pembayaran (utang) kepada bank atau lembaga keuangan lainnya.
Nah kondisi seperti ini akhirnya memperparah risiko sistemik dalam perbankan, seperti terlihat pada kasus perang Rusia-Ukraina. Saat itu, terjadi tekanan kredit pada bank-bank Eropa dan Asia Timur meningkat begitu tajam.
Saat bank-bank besar yang membiayai ekspor-impor, shipping, atau komoditas gagal mengantisipasi kondisi tersebut, efek lanjutannya akan berakibat pada krisis keuangan ke negara-negara mitra dagang.
Jadi secara umum gambarnya seperti ini. Kondisi logistik yang tertekan akibat perang dunia akan menaikan biaya transportasi. Setelah itu biaya yang tinggi memicu krisis likuiditas di sektor keuangan karena risiko gagal bayar makin meningkat. Nah selanjutnya, bank akan membatasi kredit ke sektor riil karena likuiditas (ketersediaan uangnya) makin menipis. Implikasinya hal itu akan mempercepat kondisi kelesuan ekonomi secara global.
Butuh kestabilan, bukan janji ampas!
Nah industri logistik dan keuangan ini akan makin terdampak apabila negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China beneran ikutan nimbrung ke dalam konflik. Pasalnya mereka adalah negara-negara yang punya pengaruh besar dan jangkauan bilateral yang luas dengan banyak negara, termasuk Indonesia.
Pada akhirnya, kalau memang perang dunia ketiga betul-betul terjadi, siapkan diri melihat harga-harga barang bisa jadi naik. Andai nanti logistik dan keuangan ikut rontok, mari berharap pemerintah tidak hanya menghimbau “mari berdoa”, tapi benar-benar sigap di lapangan. Soal janji stabilitas, rakyat sudah sering dengar, yang ditunggu sekarang, aksi nyata, bukan sekadar slogan di spanduk darurat.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.