Membaca tulisan Mbak Putri Ardila tentang betapa sepinya Sragen, saya menemukan banyak poin yang jujur saja salah dan tidak sesuai fakta. Misal, anggapan Kota Sragen hidup cuma sampai maghrib menurut saya adalah anggapan yang salah dan fatal.
Jika yang dimaksud kehidupan atau kota yang hidup oleh penulis adalah hiruk pikuk warga di malam hari atau toko-toko yang masih buka dan penuh dengan pembeli, saya jadi berpikir jangan-jangan penulisnya ini ke Sragen itu cuma mampir atau sebentar aja.
Jadi saya perlu jelaskan kenapa anggapan dari penulis ini hasil dari ketidaktahuan sama sekali tentang kota Sragen.
Daftar Isi
Sragen itu kalau malam masih rame, Bolo!
Kalau penulis menganggap Kota Sragen adalah Kecamatan Sragen, dan bilang kalau di atas jam 7 malam sepi, saya yakin penulisnya nggak ke Kota Sragen, tapi kecamatan lain yang masih masuk Kabupaten Sragen.
Kota Sragen ini ya masuk kecamatan Sragen yang diawali setelah kecamatan Masaran. Nah kalau mbak Putri ini beneran masuk ke kota Sragen sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Sragen, toko-toko atau warung makanan dipastikan masih buka. Ya kalau pun menemukan ada yang tutup ya bukan berarti semua warung tutup kan?
Mbak Putri menyebutkan tentang warung mie ayam. Warung mie ayam yang tutup jam segitu ini bisa beberapa kemungkinan. Karena emang udah abis aja. Ya kalo abis mosok dipaksa jualan. Kemungkinan lain ya yang punya warung nggak buka warung karena ada kepentingan pribadi.
Itu sebenernya hal yang lumrah. Ya mosok satu warung tutup terus dianggap nggak ada warung makan buka di Sragen. Nggak betul ini.
Ngapain juga nongkrong?
Masalah warung makan, cobalah mbaknya ke arah jalur Alun-alun Kota. Di sana warung makan atau food court bertebaran sampai malam. Iya sampai malam. Atau mau ke kafe kekinian yang tersebar di beberapa titik di kota Sragen. Ya coba dong dijelajahi tiap sudut kota.
Dalam artikelnya mbak Putri juga disebut tak ada yang nongkrong di Sragen pada pukul tujuh malam ke atas. Ya yang dimaksud nongkrong di sini ngapain mbak? Mau bahas politik atau mau bahas bikin Ormas? Ya mending dibahas di dalam ruangan to? Kalau duduk-duduk di angkringan sambil menyantap jajanan hik ya jelas masih ada. Kalo nongkrong nggak ngapa-ngapain ya buat apa coba?
Kalaupun ada sekumpulan orang pastinya milih ke spot macam angkringan ataupun kafe kekinian. Oh iya, Mbak, perlu juga jalan-jalan ke arah Alun-alun Sragen. Nah di sana banyak orang dewasa sampai keluarga yang sekadar jalan-jalan, foto bersama atau ya duduk-duduk aja gitu. Kalo mbaknya ndak nemu, saya curiga jangan-jangan mbaknya pas hujan deras ke Sragennya.
Please deh, Sragen punya bioskop ya!
DI artikel yang ditulis oleh mbak Putri disebut Kota Sragen ini tidak punya mall dan bioskop. Nah yang dimaksud mbaknya ini apa mall sekelas Mall of Indonesia atau mall macam Blok M Plaza gitu?
Nah, kalau mall yang dicari kayak gitu, ya salah tempat. Mbaknya harusnya membandingkan dengan kabupaten lain yang masih tetanggaan sama Sragen. Jangan membandingkan dengan yang di Jakarta.
Beberapa toko retail besar itu banyak lho di Sragen dan jam tujuh malam masih buka dan ramai. Selain ada Luwes, juga ada Mitra dan beberapa retail sepatu sampai fashion. Toko retail itu juga menyediakan macam games yang jelas nggak segede MOI lah. Tapi sudah sangat proper untuk dijual ke warga Sragen.
Memang bukan mall, tapi retail ini sudah pas untuk warga Sragen Kota untuk mencari hiburan. Kalau mau ke Game Zone ya tinggal ke Solo yang nggak jauh-jauh amat.
Nah, masalah bioskop ini perlu diluruskan. Di Kota Sragen itu sudah punya Cineplex sendiri. Iya, sudah punya bioskop! Jangan salah, bioskop ini pun difasilitasi dengan foodcourt yang fancy dengan gaya modern banget. Ada dua lantai dan foodcourt ini rame apalagi mnejelang film diputar.
Tentu saja kebaruan film nggak kayak bioskop di Solo. Tapi kota level kabupaten mana sih yang punya bioskop? Cobalah jalan-jalan ke Karanganyar atau Wonogiri sebagai kabupaten tetangga yang nggak punya bioskop. Jadi, dengan mengatakan Sragen nggak punya bioskop adalah kesalahan fatal.
Slow living tapi bukan berarti tak bising
Jika menganggap slow living adalah sebagai bentuk kewajiban karena nggak ada opsi lain, tampaknya ada yang perlu saya luruskan lagi. Kota Sragen ini di pagi hari sudah penuh dengan hiruk pikuk warga yang mau sekolah sampai berjualan di pasar. Titik kemacetan udah bikin cukup frustrasi yang jelas levelnya masih seperempatnya dari warga Jabodetabek. Dengan keadaan ini bilang kota ini memegang prinsip slow living ya nggak juga. Kita juga terburu-buru.
Toko-toko, warung makan sampai SPBU yang buka 24 jam itu juga mengejar untung berupa rupiah. Setiap toko, kafe sampai berbagai macam warung jelas mengejar pundi pundi keuangan demi memenuhi kebutuhan hidup yang makin mahal.
Nah, kalau mau slow living beneran, bisa coba ke wilayah lain di luar Kecamatan Sragen yang mana kesunyian masih benar-benar menjadi sahabat yang begitu dekat. Sragen ini punya 20 kecamatan. Sebagian kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Sragen yang mungkin dikira masih masuk Kota Sragen. Di kecamatan-kecamatan ini tidak mengherankan jika beberapa toko sudah tutup, areal persawahan terbentang dan kesunyian jadi semacam kawan dekat.
Kalau disebut ramai, mau seramai apa?
Kalau dengan titik keramaian Kota Sragen yang sudah ada saat ini masih dianggap sepi dan tak hidup pula, memang yang disebut ramai itu kayak apa? Lagi-kagi jika perbandingannya dengan kota di Jabodetabek, ya jelas kota Sragen masuk kategori sunyi senyap.
Tapi bukannya kondisi kota di setiap kabupaten ini tak jauh beda to? Lagipula kota sekelas kabupaten dikatakan ramai itu seperti apa? Apa harus diputar music 24 jam di alun-alun kota, atau harus ada kerumunan orang banyak yang pulang kerja malam-malam layaknya Jakarta?
Kota setingkat kabupaten memiliki ritme kesibukannya yang tentu nggak sama dengan Jabodetabek. Kebutuhan jam kerja yang juga berbeda. Pada titik tertentu akan mudah ditemui pekerja pabrik yang memiliki mobilitas kerja malam hari tapi pada titik tertentu suatu wilayah sepi dan sunyi. Ya lumrah to?
Lagian kalo setiap sudut kota itu bising, penuh keramaian, kapan bisa menemui kesunyian untuk menulis artikel di Terminal Mojok? Ya to?
Penulis: Hanifatul Hijriati
Editor: Rizky Prasetya