Stasiun Pasar Senen Jakarta Bukan Lagi Stasiunnya Kaum Miskin, Kini Bisa Diadu dengan Stasiun Gambir 

Stasiun Pasar Senen Jakarta Mojok.co

Stasiun Pasar Senen Jakarta (wikipedia.org)

Stasiun Pasar Senen Jakarta, tempat yang menjadi perjumpaan pertama saya dengan daerah bernama Jakarta. Sebagai fresh graduate yang pertama kali merantau, uang tabungan saya pada waktu itu tidak seberapa, hanya cukup untuk membeli tiket kereta api ekonomi yang berangkat dari Stasiun Lempuyangan Jogja ke Stasiun Pasar Senen Jakarta. Saya yakin banyak orang yang mengadu nasib ke ibu kota relate dengan pengalaman semacam itu. 

Stasiun Pasar Senen atau yang lebih populer dengan sebutan Stasiun Senen adalah stasiun kereta api kelas besar tipe A yang terletak di Jakarta Pusat. Stasiun ini menjadi 1 dari 5 stasiun utama yang terletak di DKI Jakarta yang melayani perjalanan kereta api antarkota. Lebih tepatnya, Stasiun Senen melayani kereta api antarkota kelas campuran, ekonomi premium, dan ekonomi dari/menuju Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya. Tempat ini juga melayani kereta api Commuter Line yang beroperasi di Jabodetabek. 

Stasiun Pasar Senen dalam ingatan saya 

Saya merantau ke ibu kota pada akhir 2018. Sejauh ingatan saya, stasiun dengan kode PSE itu tidak jauh berbeda dengan Stasiun Lempuyangan Jogja. Bangunannya terlihat lawas, tapi terawat. Suasananya ramai, cenderung tidak teratur. Banyak orang lalu-lalang, tidak sedikit yang duduk di lantai (ngemper) bersama barang bawaan mereka karena tidak kebagian kursi. Pada saat itu, jumlah kursi yang tersedia sering tidak sesuai jumlah penumpang yang datang.   

Keruwetan tidak hanya terjadi di dalam area stasiun, kondisi di luar stasiun tidak jauh berbeda. Simpul-simpul kemacetan kerap terjadi karena kendaraan yang sibuk keluar/masuk area stasiun. Terlebih, tempat ini berdekatan dengan Pasar Senen yang ramai itu. Benar-benar mengingatkan saya pada ruwetnya Jalan Lempuyangan yang tepat berada tepat di sisi selatan Stasiun Lempuyangan Jogja. 

Walau ruwet, Stasiun Pasar Senen Jakarta tetap jadi pilihan banyak orang karena lebih mudah diakses dibanding Stasiun Gambir. Padahal jarak dua tempat itu hanya sekitar 5 km. “Lebih mudah diakses” di sini tidak hanya dalam arti harga tiket kereta yang terjangkau, tapi juga akses transportasi umum yang lebih gampang. Dari Stasiun Senen, penumpang bisa menuju berbagai tempat di ibu kota menggunakan transportasi publik yang ramah di kantong seperti KRL dan Trans Jakarta. Sangat cocok untuk kaum mendang-mending yang sayang menghabiskan uang untuk taksi maupun layanan transportasi online. 

Identik dengan stasiun kaum miskin

Masa awal merantau di ibu kota, saya selalu naik/turun di Stasiun Pasar Senen Jakarta ketika hendak pulang ke Jogja. Saya tidak terlalu ambil pusing (atau mungkin tidak relate) dengan selentingan teman-teman tentang stasiun ini. Misal, “Dia mah kelasnya Gambir, bukan Pasar Senen” atau “Sini mah kelasnya Pasar Senen aja, nggak sanggup Gambir,” serta kalimat-kalimat lain yang menunjukkan perbedaan kelas antara Pasar Senen dan Gambir. Prioritas saya pada waktu itu pulang ke Jogja dengan tiket semurah mungkin. Selentingan seputar Stasiun Senen  akhirnya hanya jadi angin lalu.  

Hingga akhirnya, saya punya kesempatan bepergian dari Stasiun Gambir Jakarta. Selentingan bercandaan teman-teman saya menjadi lebih bida dipahami. Gambir dan Senen memang beda. Gambir lebih luas, tertata, dan nyaman. Banyak kursi tunggu sehingga sangat jarang penumpang ngemper. Selain itu, ada banyak sekali gerai makanan tersedia di sana, termasuk merek franchise besar seperti Starbucks, KFC, McDonalds, Solaria. Saya melihat para penumpang kereta (lengkap dengan koper mereka) bercengkrama atau makan dengan lahap di gerai-gerai merek ternama tadi. Terlihat berkelas.  

Stasiun yang berada tepat di sisi timur Monumen Nasional (Monas) itu melayani kereta antarkota kelas eksekutif dan hanya sebagian kecil kelas campuran. Artinya, penumpang yang naik/turun di stasiun ini rela menghabiskan duit ratusan ribu hingga jutaan untuk naik kereta. Bahkan, tidak sedikit kelas kereta yang harga tiketnya bisa bersaing dengan tiket pesawat. 

Pengetahuan saya sampai di situ saja. Saya tidak pernah menarik perbedaan itu menjadi semacam identitas kelas di masyarakat. Tapi, setelah merasakan sendiri vibes Stasiun Gambir dan Stasiun Senen, saya memahami kenapa identitas kelas semacam itu bisa terbentuk. Tampilan penumpang, fasilitas stasiun, gerai-gerai yang tersedia, semuanya berbeda. Stasiun Pasar Senen Jakarta tertinggal jauh dari Stasiun Gambir. 

“Aura miskin” Stasiun Pasar Senen tidak bersisa

Bertahun-tahun berlalu sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota. Pada akhir 2024 lalu akhirnya saya berkesempatan mampir Jakarta dan turun di Stasiun Pasar Senen. Betapa terkejutnya saya, stasiun yang identik dengan “kaum miskin” itu sudah berubah wajah. 

Secara ukuran sepertinya memang tidak ada perluasan. Hanya saja, penataan yang jauh lebih apik membuat stasiun terasa lebih luas, lebih lenggang. Bahkan, area yang dahulu terbuka, kini sudah ditutup kaca dan dipasang AC. Suasana ruang tunggu jadi jauh lebih sejuk. Jumlah kursi tunggu pun ditambah, jauh lebih banyak sehingga nggak ada lagi orang-orang yang ngemper dengan barang bawaan mereka. Area penumpang KRL pun dipindah sehingga tidak bercampur lagi kerumunan penumpang kereta jarak jauh dan KRL.  

Saya rasa, pengalaman menunggu kereta di Stasiun Pasar Senen Jakarta kini bisa diadu dengan Stasiun Gambir. Sama-sama nyaman dan jauh dari kata ruwet. Penumpangnya juga terlihat lebih teratur. Apa memang benar ya, pasar (dalam hal ini penumpang kereta) akan menyesuaikan wajah fasilitasnya. Atau, mungkin juga, warga yang bisa mengakses kereta api sekarang ini memang lebih terseleksi karena semakin sedikit kereta yang ramah di kantong.  Entahlah, apapun itu, saya bisa bisa melihat Stasiun Senen bukan lagi stasiunnya kaum miskin seperti banyak selentingan selama ini.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Intan Ekapertiwi

BACA JUGA “Alun-Alun Tutup” Adalah Dua Kata Lucu yang Kini Terjadi di Alun-Alun Depok

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version
OSZAR »